Writing

Gachatubers Go!

            “Kyaaa!!! Apa ini? Imut banget!” Najma berguling di atas ranjangnya, menatap handphone kesayangannya. Rupanya, ia sedang menonton video gacha life.

            “Ada apa, Najma? Kok, kamu berteriak?” tanya Kak Indah dari balik pintu.

            “Ini, kak. Imut banget! Kakak pasti suka, deh! Namanya apa, sih, ini? Kakak tahu, nggak?” Najma memberondong Kak Indah dengan segala celotehan kekanak-kanakannya. Padahal, Najma sudah kelas lima SD.

            “Kakak mau jawab, tapi Najma nontonnya jangan sambil tiduran, ya!” Kak Indah yang sudah kelas dua SMP itu tersenyum melihat tingkah adiknya yang manis.

            “Iya, deh! Najma siap mendengarkan!” Najma duduk rapi setelah menekan tombol pause pada video yang sedang ditontonnya.

            “Najma, itu namanya gacha life. Gacha life yang merupakan sebuah video berasal dari games Gacha Life buatan perusahaan Lunime yang diedit menggunakan Kinemaster atau aplikasi untuk merangkai sebuah video lainnya,” jelas Kak Indah lembut.

            “Oh, begitu, ya, Kak! Aku suka banget gacha life. Pada saat melihat video ini, hatiku langsung melompat dan rasa ingin tahuku meledak,” celoteh Najma.

            “Hihihi.., ada-ada saja, Najma. Sudah, ya, kakak mau mengerjakan PR dulu,” Kak Indah beranjak keluar dari kamar Najma.

            Najma kembali memutar video yang sedang ditontonnya. Ia begitu tenggelam dalam video tersebut sampai-sampai dia tidak menyadari kalau waktu shalat Ashar telah tiba.

            “Indah, Najma! Ayo, shalat bersama ibu! Nih, ibu tunggu kalian. Cepat ambil air wudhu dan kita shalat berjamaah,” panggil ibu dari mushola.

            “Baik, Bu!” Najma segera mematikan handphonenya. Syukurlah, ia sudah selesai menonton videonya.

            Najma segera mengambil air wudhu di kamar mandi. Setelah itu, ia mengambil mukenanya dan mengenakannya.

            “Tadi Najma sedang apa?” tanya ibu.

            “Tadi Najma sedang menonton gacha life, Bu. Aku suka banget videonya. Bagus plus imut,” jawab Najma.

            “Oh..”

            Keesokan harinya, di sekolah..

            “Halo, Fafa, Aisya! Selamat pagi!” sapa Najma saat ia sampai di sekolah.

            “Halo, Najma!” Fafa dan Aisya menjawab.

            “Hehehe, ayo, kita pergi ke kelas! Sepertinya, sebentar lagi bel masuk berbunyi,” Najma melirik jam tangannya.

            KRIIIIIING!!!

            “Hwaaaaa.., tuh, kan!” Najma, Fafa, dan Aisya berlari ke kelas.

            Najma membuka pintu kelas dengan napas tak beraturan. Keringat mengalir di wajahnya. Ia merasa cemas. Apakah mereka akan diberikan konsekuensi?

            “Kalian terlambat, kan? Ayo, jangan melamun. Letakkan tas kalian di loker masing-masing, lalu segera duduk di kursi! Mengerti?” perintah Bu Mika.

            “M..mengerti, Bu..”

            Setelah meletakkan tas di loker, Najma segera duduk di kursi. Begitu juga Fafa dan Aisya.

            “Nah, anak-anak, karena ujian telah selesai, maka, selama tiga minggu ke depan kalian libur!” Bu Mika memberitahukan pengumuman yang menyenangkan.

            “Yeay!!!!!”

            Hari itu diisi dengan pengumuman nilai-nilai ujian minggu kemarin. Hanya ada dua orang yang menjalani remedial. Yang lain ke ruang komputer untuk bermain games atau menonton, yang lainnya pergi ke kantin. Pokoknya, hari itu penuh dengan jam kosong.

            Di kantin…

            “Teman-teman, apa yang akan kita lakukan pada saat liburan?” tanya Aisya.

            “Bagaimana kalau kita membuat gachatube?” usul Najma.

            “Ide bagus!” puji Fafa.

            “Setuju!” seru Aisya.

            “Kalau begitu, karena mulai pulang sekolah kita akan berlibur, nanti kalian bermain ke rumahku, ya! Mungkin kakakku tahu bagaimana cara membuat gachatube,” ucap Najma.

            “Oke, deh!”

            Pulang sekolah, Najma segera mengganti seragamnya dengan kaus biasa dan celana semata kaki. Ia segera memberitahu Kak Indah kalau teman-temannya akan datang untuk membuat gachatube.

            “Bisakah kakak membantu kami?” tanya Najma memasang tampang memelas.

            “Tentu saja, my dear sister,” Kak Indah memeluk adiknya itu.

            “Yeay, Kak Indah adalah kakak terbaikku!” Najma  balas memeluk Kak Indah.

            TING TONG!

            “Assalammu’alaikum, Najma!” terdengar  suara Fafa dan Aisya.

            “Wa’alaikumsalam, teman-teman! Ayo, masuk!” Najma membukakan pintu.

            “Oh, kalian teman-teman Najma, ya? Mau membuat gachatube? Ayo, ke kamar kakak! Kakak akan membantu kalian,” Kak Indah tersenyum.

            Najma, Fafa, dan Aisya segera mengikuti Kak Indah ke kamar. Kak Indah menyalakan pendingin ruangan. Lalu, ia mengambil laptopnya dan mempersilahkan yang lainnya untuk naik ke tempat tidur.

            Pertama-tama, mereka membuka aplikasi Gacha Life. Najma, Fafa, dan Aisya saling memasukkan ide mereka. Mereka akan membuat video dengan tema misteri dan petualangan. Tokohnya adalah mereka bertiga. Kegiatan mereka dilanjutkan di hari-hari berikutnya. Mereka sangat bersemangat membuat gachatube.

            Satu minggu kemudian…

            “Adik-adik, sekarang, sudah masuk tahap editing dan perangkaian video menggunakan Kinemaster,” ucap Kak Indah memberitahu.

            “Yeay!!!” seru Najma, Fafa, dan Aisya riang. “We will be a little gachatubers!”

            Setelah satu jam mengedit video, Najma, Aisya, dan Kak Indah merasa lapar.

            “Fafa, kita makan dulu, ya! Kamu boleh meminjam laptopku,” kata Kak Indah.

            “Baiklah, terima kasih, Kak!” Fafa tersenyum.

            Sementara yang lainnya sedang makan camilan, Fafa ingin mendengarkan lagu. Tiba-tiba, saat hendak ingin keluar dari Kinemaster, muncul tulisan.

Do you want to save your work?

Save       Don’t save         Cancel

            Fafa yang tidak mengerti hal-hal seperti itu asal saja menekan tombol “Don’t save.” Setelah itu, Fafa segera mendengarkan lagu.

            Beberapa menit kemudian, Najma, Aisya, dan Kak Indah kembali ke kamar.

            “Fafa, ayo, dibuka lagi Kinemaster-nya!” perintah Najma.

            “Baiklah,” Fafa pun membuka Kinemaster.

            “Lho, kok, pekerjaan kita tidak ada?” tanya Aisya. “Apa yang kamu lakukan sebelum mendengarkan lagu?”

“Aku..aku menekan tombol ‘Don’t Save.’ Memangnya kenapa?” Fafa bertanya balik.

            “Kenapa kamu menekan tombol ‘Don’t Save’?! Lihat, pekerjaan kita jadi hilang! Editingnya harus mulai dari awal lagi! Kalau tidak tahu, tanya saja pada kita!” Aisya tampaknya di luar kendali.

            Fafa menunduk. Ia menangis, tampak tersayat mendengar perkataan Aisya terhadapnya. Sambil menutupi wajahnya, Fafa berlari keluar kamar. Kak Indah hanya melongo, menonton keadaan.

            “Aisya, kamu harus meminta maaf pada Fafa! Hanya karena pekerjaan yang telah hilang, kamu rela memarahi bahkan membentak sahabatmu sendiri! Bukankah sahabat lebih penting dibandingkan pekerjaan? Tidakkah kau ingat janji persahabatan kita? Kita adalah sahabat selamanya, tidak akan pernah terpisahkan. Jangan bermusuhan satu sama lain dan maafkanlah sahabatmu karena jika tidak kau akan kehilangan permata hati,” seru Najma.

            ‘Tapi..,” Aisya menunduk.

            “Tidak ada tapi-tapi! Minta maaflah sebelum kau terlambat,” Najma mendorong Aisya keluar dari kamar dengan halus. Mereka menemukan Fafa yang sedang duduk di sofa sambil menangis, ditemani ibu Najma.

            “Fafa, maafkan aku! Aku mementingkan pekerjaan, padahal kamu lebih berharga! Maafkan aku karena telah membentakmu. Tadi.., aku..aku di luar kendali. Sungguh, maafkan aku dari lubuk hatimu yang terdalam! Aku menyadari kalau semua orang pasti punya salah,” tangis Aisya memeluk Fafa.

            “Maafkan aku juga, Aisya, karena telah menghilangkan editingnya,” ujar Fafa.

            Najma, Kak Indah, dan ibu tersenyum. Mereka pun memulai kembali proses editing dan perangkaian video. Mereka tidak akan pernah menyerah hanya karena pekerjaan yang menghilang.

            Saru minggu berlalu, video pertama mereka telah selesai. Video mereka telah diunggah di akun youtube mereka yang bernama GachatuberBFF. Dalam waktu beberapa hari, akun pertama mereka itu langsung mendapatkan ratusan subscriber dan komen-komen yang positif. Ini semua berkat kerjasama kerja sama, kekompakkan, dan solidaritas mereka. Hal-hal tersebutlah yang membawa mereka menjadi gachatuber cilik terkenal.

            “We are little gachatubers!”

TAMAT

Fantasy Friendship

            “Bunda! Aku pulang!” Lusy mengetuk pintu rumahnya.

            “Iya, sebentar, Lusy!” bunda segera membukakan pintu setelah mencuci tangan, karena bunda sehabis memasak. “Hmm.., putri bunda sudah pulang.. Bagaimana sekolahmu?” tanya bunda.

            “Biasa saja,” jawab Lusy sambil melepaskan seragamnya.

            “Oh..,” bunda segera mendapatkan kode bahwa anak semata wayangnya itu tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu. “Segera pakai bajumu dan kita makan siang bersama, setelah itu, kamu tidur siang.”

            “Baik, bunda,” Lusy berjalan lesu ke kamar. Di sekolah, ia selalu diejek “Si Aneh”. Lusy memakai kaus biru langit dengan gambar bintang-bintang, dengan celana pendek selutut berwarna merah muda lembut.

            “Menu makan siang kali ini, soto daging dan ayam lengkuas,” bunda memberitahu. Lusy hanya mengangguk tak semangat.

            “Ada apa denganmu, Sayang?” tanya bunda memperhatikan sikap Lusy yang tampak lesu.

            “Tidak ada apa-apa, bunda,” Lusy mulai menyuap makanannya.

Setelah itu, Lusy berjalan ke dapur untuk mencuci piring. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar.

            “Lho, sejak kapan ada cermin bermotif bunga yang indah ini? Tadi belum ada,” Lusy terkesiap, terkejut melihat cermin besar di dalam kamarnya. “Dan.. mengapa cermin ini bersinar? Seolah-olah ingin menarikku ke dalamnya.”

            Perlahan-lahan, kaki Lusy mulai tertarik ke cermin itu. Semakin lama tarikannya semakin kuat. Lusy tak bisa menahannya lagi. Wuuuuuuuuushh!!! Ia tertarik ke dalam cermin, berputar dalam pusaran aneka warna memusingkan.

“Whuaaaaaaaa!!”

 Bruk! Lusy terjatuh di tempat yang asing. Sambil berusaha berdiri, ia melihat tiga sosok berbeda di depannya.

“Kyaaaaaaaa!!!” Lusy makin terkejut, terjatuh kembali di pasir yang lembut. Di depannya, ada peri, penyihir, dan putri duyung. Apakah dia bermimpi?

“Halo. Maafkan kami telah mengejutkanmu. Namaku Lily,” sang peri membantu Lusy berdiri dengan mantranya.

“Namaku Wizhoelle, dia Pearlshell,” si penyihir memperkenalkan dirinya beserta si putri duyung.

“Selamat datang di Negeri Fantasi. Kami menggunakan mantra penggabungan kekuatan dan cermin portal untuk menarikmu ke sini. Kami ingin berkenalan dengan rakyat bumi dan berteman denganmu,” ketiganya berkata bersama-sama.

“N..namaku Lusy. Senang bertemu dengan kalian,” Lusy meringis. Hari yang aneh.

“Nah, sekarang, kita akan mengajakmu berpetualang. Pertama-tama, naiklah di sini,” Wizhoelle menaiki sapu terbangnya dan Lusy duduk di belakangnya.

            “Wiiiiiiiiiiii!!!”  Lusy mengangkat tangannya riang saat sapu terbang itu melesat di langit. “Kau penerbang yang baik!” pujinya.

            “Hehehe, terima kasih,” Wizhoelle tersenyum. “Lihatlah pemandangan di bawah!”

            “Whoaaaaaaaa! Luar biasa!” Lusy ternganga. Spektakuler!

            “Bersiaplah!” seru Wizhoelle, membuatnya berpegangan erat. Mereka meluncur terkena cipratan air terjun, lalu meluncur di atas pelangi dan mendarat mulus di depan Lily dan Pearlshell yang masih mengapung di laut.

            “Bagaimana tur langitnya?” tanya Pearlshell.

            “Aku ingin lagi..,” desah Lusy.

            “Oh.., tidak, Lusy! Sekarang, saatnya kita pergi ke Giga Flowery Labyrinth!” Lily memimpin dengan anggun.

            “Kau yakin, Lily?  Bukankah labirin itu berbahaya? Jika kita tersesat terlalu lama, maka tanaman monster akan melahap kita..,” Wizhoelle khawatir.

            “Aku yakin, Wizhoelle. Itu hanya bualan orang-orang, kau percaya pada mereka? Kau penakut sekali. Selama ada aku, semuanya akan berjalan dengan baik,” seru Lily dengan angkuh dan ketus. “Ayo, kita pergi, teman-teman!”

            “Tunggu!” seru Pearlshell, bertransformasi menjadi manusia. Tubuhnya bercahaya. Ia mengenakan gaun yang terbuka di bagian kaki karena berasal dari sirip duyungnya.

            “Wow.., sangat besar..,” Lusy melongo ke atas, menatap labirin bunga setinggi 18 meter dan seluas 1000 hektar.

            “Ya! Selamat datang Giga Flowery Labyrinth!” Lily tersenyum. “Milik kakak iparnya adik ayahku,” ia menambahkan.

            “Sedang lihat apa, Lusy? Ayo, kita masuk!” ajak Pearlshell dengan suaranya yang merdu, padahal ia tidak sedang menyanyi.

            “Eh.., baiklah..,” lagi-lagi, Lusy terpesona dengan kecantikan Pearlshell yang sederhana dan keanggunannya yang elegan. Bahkan Lily yang berusaha menirunya tidak bisa menandinginya sama sekali.

            “Eng.., Lily, kau bawa peta, kan?” Lusy takut mereka akan tersesat selamanya di labirin raksasa tersebut.

            “Tidak, tapi aku hafal tempat ini,” Lily tampak tenang-tenang saja.

            “Kapan kau terakhir kali ke sini, Lily?” tanya Wizhoelle memastikan.

            “Dua tahun yang lalu,” Lily meringis, menghitung dengan jarinya.

            “Kita buntu,” Pearlshell melambaikan tangannya lembut, menimbulkan cahaya keperakan di udara. “Ayo kita berbalik.”

            “Ta..tapi..,” Lusy menunjuk dinding semak-bunga yang menutupi jalan yang tadi mereka lewati.

            “Ada apa dengan labirin ini?” Lily gemetar. “Yayayayaya..,” Lily berusaha mengirim koneksi pada petugas penjaga labirin. “Ko.. koneksinya terputus..”

            “Ini semua salahmu, Lily! Bukankah aku telah memperingatkanmu?! Sebentar lagi, tamatlah riwayat kita! Bagaimana dengan Lusy? Jika senja telah tiba, maka dia tidak akan bisa kembali selamanya! Itulah yang aku khawatirkan, Lily! Apakah kamu tidak tahu apa-apa?!” sembur Wizhoelle marah.

            “Ma.. maafkan aku! Aku tidak tahu ini akan terjadi!” Lily berusaha membela diri.

            “Bukan itu masalahnya, Lily. Kita membawa manusia. Kalau kamu tidak tahu ini akan terjadi, setidaknya apakah kamu tidak memikirkannya? Kamu begitu saja mengambil risiko ini?” dengan tenang, Pearlshell mengecam Lily.

            Lusy menonton ketiga teman barunya dengan bingung. Apakah ia benar-benar tidak akan pernah pulang?

            “Berhenti bertengkar, teman-teman! Apapun yang kita lakukan, kita harus tetap tenang. Itu kuncinya,” Lusy menengahi pertengkaran, mengingat pesan yang ayahnya ucapkan sebelum meninggal.

            “Lusy benar. Jangan bertengkar dan jangan panik,” Pearlshell menyetujui. Diam-diam, Lusy merasa senang pendapatnya didukung oleh Pearlshell.

            “Mari kita pikirkan cara yang tepat untuk keluar dari labirin ini,” ujar Wizhoelle.

            Keempat anak itu tampak berpikir keras. Tiba-tiba..

            “Tanahnya bergetar!” Lily segera melayang dari tanah. Muncul tanaman penggigit dari dalam tanah.

            “Kyaaaaaaaa!!” Lusy mundur, tapi ia tersudut di dinding.

            “Raaaaaaaawrrr!!” tanaman itu meliuk mendekati Lusy.

            “Tidaaaaaaaaakk!!” Lusy memejamkan matanya ketakutan.

            “Lusy!” Wizhoelle menarik tangan Lusy dari atas sapunya, dibantu oleh Pearlshell dan Lily. Tepat pada saat Lusy jatuh terduduk di sapu, Wizhoelle menyentak. Sapu terbang itu terbang lurus ke atas, keluar dari labirin dipimpin oleh Lily yang terbang tinggi.

            “Whoaaaaaaaa!!! Tinggi sekali!” Pearlshell menjerit.

            “Aduh, Wizhoelle! Kenapa tidak terpikir sejak tadi?” Lusy mengomel saat mereka mendarat di depan labirin.

            “Hehehe.. Biasa, aku hanya bisa berpikir cepat saat situasi sedang menegangkan,” Wizhoelle terkekeh menjawab.

            “Huh!” Lusy malah tambah cemberut.

            “Yang penting, kan, kamu selamat,” Pearlshell tersenyum memeluk Lusy. “Sekarang, saatnya tur bawah laut! Masih ada cukup waktu, kan?”

            Lily memeriksa jam pasirnya. “Masih ada satu jam lagi. Usahakan kita akan kembali setengah jam lagi.”

            “Siap! Nah, genggam tanganku!”

            Lusy dan Lily memegang tangan Pearlshell, sedangkan Wizhoelle memegang tangan Lusy.

            “Bersiaplah!”

            Dalam sekejap, mereka berada di dalam laut dengan wujud putri duyung.

            “Kita akan pergi ke Studio Bawah Laut Pelangi!” Pearlshell mengetuk terumbu karang pelangi sebanyak tiga kali, lalu terumbu karang tersebut menyibakkan diri, dan muncullah panggung kerang raksasa dengan drum, gitar, bas, mikrofon, piano, dan seruling.

            “Satu, dua, tiga!”

            “We are best friend forever.. At least we’re apart each other.. But we promise to be last forever, to apart we say never, as we best friend forever, running exploring world together, there’s many thing in order, but never lost you in~ our heart~” ketiganya menyanyi dengan amat merdu. Irama musik yang dimainkan oleh para lumba mengalun mengiringi. Ikan-ikan kecil menari lucu. Tak lama kemudian, Lusy turut bersenandung.

            “We are best friend forever.. At least we’re apart each other.. But we promise to be last forever, to apart we say never, as we best friend forever, running exploring world together, there’s many thing in order, but never lost you in~ our heart~”

            Pearlshell, Wizhoelle, dan Lily adalah sahabat satu-satunya. Untuk selamanya mereka bersahabat, berjanji akan menyimpan persahabatan mereka dengan tulus.

TAMAT


Fanart Battle

            “DoReReMiFaSolMiMiFaSol…” Ayesha menyanyikan potongan not lagu Himne Guru dengan riang. Sementara saudara kembarnya, Alesha, sedang mengerjakan PR.

            “Berisik, ah! Aku sedang mengerjakan PR. Memangnya, kamu mau diganggu kalau kamu sedang mengerjakan PR?” tanya Alesha cemberut.

            “Huh, kamu mengganggu latihanku! Miss Ambar menyuruh tim angklung untuk menghafalkan not lagu Himne Guru!” sembur Ayesha.

            “Oh, iya, Yesh! Kamu mau ikut Fanart Battle, nggak?” tanya Alesha, mengalihkan topik pembicaraan.

            “Mau, dong!” seru Ayesha.

            “Huh, tapi sudah pasti aku yang menang!” Alesha menyombongkan diri.

            “Ih, apaan, sih?! Ayo, kita bertanding dengan adil!”  tantang Ayesha.

            “Huh, aku siap, kok! Tapi, kan, kita belum mendaftar dan belum izin ke orangtua,” ucap Alesha.

            “Oh, ya! Ayo kita bilang ke ibu!” Ayesha berlari mendahului.

            “Hei, tunggu aku!” Alesha mengejar. PR-nya segera terlupakan, tergeletak begitu saja di meja belajarnya.

            Di ruang kerja ibu..

            “Bu, kita boleh ikut Fanart Battle, kan?” tanya Ayesha. Keduanya memasang wajah memohon.

            “Hmm.., boleh, dong!” ibu tersenyum.

            “Kalau begitu, ibu isi formulirnya dulu, ya!” Alesha menyerahkan lembar formulir pendaftaran. Begitu juga Ayesha.

            “Oke,” ibu pun mulai mengisi formulir satu-persatu.

            “Yeay!! Terima kasih, ibu!” Alesha dan Ayesha memeluk ibu.

            “Your welcome, Honey…

            Keesokan harinya, di sekolah…

            “Ha..hai, teman-teman! Ada masalah?” tanya Vanesh, sahabat Alesha dan Ayesha. Ia menatap kedua sahabatnya yang tampaknya sedang adu tatap, bersitegang.

            “Eng, kalian mengikuti Fanart Battle?” tanya Vanesh begitu menyadari pertanyaan pertamanya tidak dijawab.

            “Tentu saja!” seru Alesha dan Ayesha bersamaan. Keduanya mengepalkan tangan.

            “A..aku juga..”

            TENG! TENG! TENG! Bel masuk telah berbunyi. Vanesh, Alesha, dan Ayesha segera berlari ke kelas.

            “Assalammu’alaikum, anak-anak!” Miss Sasya memulai.

            “Wa’alaikumsalam!” jawab murid-murid.

            “Yang ingin mengikuti Fanart Battle boleh langsung ke ruang guru, ya! Yang lainnya, kita akan belajar tentang pangkat tiga,” kata Miss Sasya.

            Alesha, Ayesha, Vanesh, dan beberapa anak yang lain segera pergi ke ruang guru. Di sana, sudah ada dua puluh anak lainnya. Mereka terakhir datang ke ruang guru. Rupanya, Mr. Ahmad, koordinator lomba di Three Unicorn Elementary School, sudah menunggu.

            “Sudah berkumpul semua? Ya, baiklah. Assalammu’alaikum, anak-anak. Mr akan menyampaikan keterangan atau informasi mengenai Fanart Battle. Jadi, kalian harus membuat fanart maksimal tiga gambar menggunakan Ibis Paint X. Temanya bebas, yang jelas yang digambar objek utamanya adalah orang. Mengerti?” tanya Mr. Ahmad setelah menjelaskan.

            “Mengerti!”

            “Lalu, lima orang yang dipilih dari sekolah hasil fanartnya akan disatukan menjadi satu slide presentation. Dipresentasikan secara bergiliran di LastFalls Hall dan akan dinilai dari gambarnya. Terakhir pengumpulan pada Mr adalah hari Kamis. Ada pertanyaan?”

            “Tidak, Mr,” jawab semuanya.

            “Kalau begitu, kalian boleh mengumpulkan formulir, lalu kembali ke kelas masing-masing!” perintah Mr. Ahmad.

            “Baik, Mr!”

            Di rumah, Ayesha dan Alesha fokus membuat fanart setelah mengerjakan PR. Mereka membuat fanart menggunakan laptop masing-masing. Ayesha lebih suka menggambar kawaii princess, sedangkan Alesha membuat cute girl. Meskipun begitu, kemampuan menggambar mereka sama bagusnya. Tinggal bergantung pada selera jurinya.

            Keesokan harinya, Ayesha dan Alesha memberikan flash disk berisi fanart mereka pada Mr. Ahmad.

            “Ini flash disk-ku, Mr,” kata Ayesha.

            “Yang merah muda punyaku, Mr,” ujar Alesha.

            “Baiklah, terima kasih,” Mr. Ahmad menerima kedua flash disk tersebut.

            “Aku sudah bisa memastikan, Yesha! Akulah yang menang!” seru Alesha setelah keluar dari kantor Mr. Ahmad.

            “Hush! Jangan sombong dulu, Lesha!” Ayesha menasihati.

            “Terserah! Kamu takut aku menang, kan?” Alesha memancing.

            “Nggak!” teriak Ayesha marah.

            Pada hari Jum’at…

            “Ya, kami sudah memilih, anak-anak. Kami memutuskan untuk memilih Ayesha, Vanesh, Yumi, Kenia, dan Rola,” Mr. Ahmad mengumumkan.

            “A..aku? Aku tidak terpilih? Tapi..aku..,” Alesha melongo kebingungan. Pipinya merona menahan malu. Sejak kemarin, ia selalu menyombongkan diri dan mengejek Ayesha.

            “Mohon maaf, Alesha, tapi kamu tidak terpilih,” jawab Mr. Ahmad. “Bagi kalian yang belum terpilih, jangan sedih, ya! Masih ada tahun depan,” hibur Mr. Ahmad.

            “Kepada yang terpilih, besok, kalian pergi ke LastFalls Hall untuk presentasi dan penilaian akhir pukul 09:00 di aula. Oke?” kata Mr. Ahmad pada Ayesha, Vanesh, Yumi, Kenia, dan Rola. Kelima anak itu mengangguk.

            Semua murid yang mengikuti fanart battle segera keluar dari ruangan Mr. Ahmad. Alesha tertunduk murung, terdiam. Sementara Ayesha asyik mengobrol dengan Vanesh, Yumi, Kenia, dan Rola. Ayesha tidak menghiraukan Alesha sedikit pun. Sedangkan Alesha tampak terkucilkan. Ia tak berani bertegur sapa pada Ayesha selama sehari itu.

            “Aku tidak sabar menunggu hari esok,” kata Ayesha pada Vanesh.

            “Aku menantikannya,” Vanesh tersenyum menjawab.

            Alesha memperhatikan keduanya dari kejauhan.

            Di rumah…

            “Ibu, aku berhasil terpilih untuk mewakili sekolah mengikuti Fanart Battle ke LastFalls Hall!” seru Ayesha memberitahu.

            “Oh, ya? Wah, anak ibu memang hebat! Bagaimana dengan kamu, Alesha?” tanya ibu. Alesha membuang muka. Ibu segera mengerti. “Tidak apa-apa, Alesha! Ibu bangga padamu.”

            Di kamar, Ayesha berlatih presentasi, ditonton oleh ibu. Ibu terus melatih Ayesha menjadi lebih baik lagi. Ibu sudah biasa presentasi di kantornya, jadi ia mengetahui cara berpresentasi dengan baik dan benar.

            “Lebih lantang lagi, Ayesha!” perintah ibu.

            “Baik, ibu!”

            Keesokan harinya, di LastFalls Hall..

            “Ayesha, akhirnya kamu datang. Kamu datang paling terakhir. Sebentar lagi perlombaannya dimulai,” Mr. Ahmad menghembuskan napas lega.

            “Ugh…, aku bangun kesiangan, Mr… Maafkan aku,” Ayesha meminta maaf.

            Di belakang panggung..

            “Ayesha, berusahalah dengan baik. Aku mendukungmu. Maafkan aku karena aku terlalu menyombongkan diri. Semoga kamu berhasil,” Alesha memeluk saudara kembarnya.

            “Terima kasih atas dukungannya, Alesha. Aku memaafkanmu,” ujar Ayesha.

            Terdengar suara MC, “Kami panggilkan, peserta dengan nomor urut 97, dari Three Unicorn Elementary School, Ayesha Inandia!”

            Ayesha segera naik ke atas panggungg. Dalam presentasinya, ia segera menyampaikan semua yang ia ingin sampaikan dengan jelas dan singkat. Setelah mengucapkan salam, Ayesha segera turun dari panggung diiringi dengan tepuk tangan yang meriah dan disambut oleh pelukan Alesha dan Vanesh.

            Setelah beberapa peserta lainnya tampil, akhirnya para juri pun berunding. Sementara itu, para peserta beristirahat di kantin.

            “Kita pesan sate ayam dan es milo dengan bubuk!” pesan Ayesha, Alesha, Vanesh, Yumi,  Kenia, dan Rola. Mereka pun makan dengan lahap setelah pesanan mereka datang.

            Setelah makan, mereka kembali ke aula.

            “Ya, kami akan umumkan! Juara harapan tiga…adalah… peserta dengan nomor urut 18, Yarienna Muizuella!”

            “Juara harapan dua.. diraih oleh.. Sabrina Luissa Hamida.. dengan nomor urut 54!”

            “Juara harapan satu.. diraih oleh.. Yumina Zahira Dhilla!”

            MC berhenti sejenak, meneliti kertas yang berisi nama-nama para juara.

            “Inilah saat yang paling penting! Ketiga juara ini akan mendapatkan tiket jalan-jalan ke Jepang selama seminggu untuk masing-masing keluarga inti! Ya, juara ketiga, adalah.. Muhammad Ja’far Umara! Juara kedua adalah.. Vanesha Evelyn Michaella! Dan.. juara pertama.. diraih oleh… Ayesha Inandia! Selamat kepada para pemenang!”

            Ayesha dan Vanesh senang sekali. Begitu juga Alesha. Ketiga sahabat sejati itu kini bisa berlibur bersama di negara impian mereka, Jepang. Bersama-sama, mereka menjelajahi negeri matahari terbit atau negeri bunga sakura…

TAMAT


Detective in Boardgame Café

            “Hai, teman-teman! Maaf, ya, tadi aku mengerjakan PR dulu,” Rosa cengar-cengir saat memasuki markas persahabatannya.

            “Huh, curang! Kita sedang mengerjakan PR bersama, nih! Kamu bantu juga, dong!” protes Danea.

            “Hihihi! Iya! Tapi, aku ke sini bukan untuk membantu mengerjakan PR. Aku ingin mengajak kalian ke Boardgame Café milik temannya tanteku,” ujar Rosa.

            “Boardame Café?” Shinta menoleh bertanya.

            “Yup! Sebuah kafe mini yang ada area perpustakaannya dan tempat bermain boardgame,” jawab Rosa.

            “Ck, lebih seru bermain games di HP, lah! Main boardgame itu kuno!” cibir Lea.

            “Oya, kita sudah selesai mengerjakan PR, Rosa! Ayo, kita ke Boardgame Café!” seru Danea.

            “Iya! Nah, kalau kamu nggak mau ikut, Lea, kamu ditinggalkan saja, ya! Sekalian jaga markas! Oke?” canda Rosa tertawa kecil.

            “Ya, sudah! Aku ikut, deh!” ucap Lea kesal sambil mengantongi HP-nya.

            “Begitu, dong! Kan, kita BFF!” ucap Shinta tersenyum merangkul Lea.

            “Ngomong-ngomong, Boardgame Café-nya ada dimana?” tanya Lea.

            “Tenang saja, ada di komplek ini, kok! Kita naik sepeda saja, ya? Biar sehat,” ucap Rosa menyarankan.

            “Setuju, Rosa!” Danea mengeluarkan empat sepeda dari dalam garasi markas.

            “Hhhh...,” Lea menghembuskan napas.

            Lima menit kemudian, mereka sampai di Boardame Café itu.

            “Bonjour, Rosa. Je mapple Nancy!” teman tante Rosa itu tersenyum memperkenalkan diri.

            “Tante Nancy itu pakai bahasa Prancis?” bisik Danea bertanya.

            Rosa tersenyum. “Dia juga bisa bahasa Indonesia, kok!”

            “Hahaha, tante ini blasteran, adik-adik! Oya, tolong panggilnya Kak Nancy saja, ya!” ucap Kak Nancy menenangkan. “Kalian yang pertama datang hari ini! Silahkan masuk!”

            “Whoaaaaaaaaa…, bagus juga, ya! Lantai bawahnya galeri, toh?” Shinta melihat-lihat dengan antusias.

            “Iya! Kalian lihat-lihat saja lukisannya, ya!” Kak Nancy tersenyum berkata.

            “Ini lukisannya Kak Nancy dan teman-temannya,” Rosa membaca sebuah tanda tangan kecil di bagian bawah pojok setiap lukisan.

            “Lukisan wanitanya bagus,” komentar Lea.

            “Ini lukisan kapal yang sedang berlayar,” sahut Danea.

            “Dan.. ini yang paling aneh! Lukisan sebuah pintu dengan tulisan B5R1D4G2M3 ini cukup unik dan menarik, seperti bermakna sesuatu..,” ujar Shinta.

            “Kak Nancy, aku mau ke toilet,” ucap Rosa pada Kak Nancy.

            “Ada di sana,” jawab Kak Nancy, menunjuk sebuah pintu dengan papan bertuliskan “Toilet”.

            “Kok, ini toiletnya kayak di bawah tangga, ya?” Rosa bergumam melihat plafon toilet itu. Setelah menyiram, ia pun segera keluar.

            “Oh, ya, Kak Nancy! Kafenya dimana?” Rosa menoleh bertanya. “Eh, Kak Nancy…?”

            “Hah? Kak Nancy hilang!” seru Rosa.

            “Ah? Yang benar?” Shinta, Danea, dan Lea menoleh terkejut.

            Rosa berlari ke arah pintu dengan papan bertuliskan “Kamar Istirahat”. Ia pun membukanya, dan menemukan pintu lain di sebelah pintu kamar. Kamar itu berada di sebelah kamar mandi.

           

             “Pintu apa ini?” tanya Danea. Pintu itu disamarkan menjadi telephone box yang seperti di Inggris.

            “Aku akan membukanya!” seru Shinta. Di dalamnya ada teleponnya.

            “Ini pintu yang disamarkan menjadi telepon. Teleponnya seperti password lock,” ucap Danea.

            “Tunggu! Kemungkinan di dalamnya adalah tangga! Karena saat tadi aku ke toilet, plafonnya seperti bagian bawah tangga!” seru Rosa menerka-nerka.

            “Dan lukisan pintu dengan password tadi..,” ketegangan menyelimuti Shinta.

            “Jangan-jangan.., Kak Nancy diculik dan disekap di atas..?” Danea menganga.

            “Sudahlah! Kita pulang saja! Sudah jam sebelas, nih!” Lea menarik tangan teman-temannya keluar dari kafe itu.

            “Sungguh misterius..,” gumam Rosa dengan kencang, diikuti anggukan Shinta dan Danea.

            “Aku tidak tertarik,” Lea cemberut.

            “Tidak ada yang bertanya,” Danea menanggapi dengan kesal.

            “Aku hanya ingin memberitahu!” seru Lea sengit.

            “Aku tidak meminta penjelasan apapun!!!” pekik Danea marah.

            “Haduh..,” Rosa dan Shinta menepuk dahi masing-masing, pusing tujuh keliling.

            Keesokan harinya…

            “Teman-teman, aku sudah menemukan jawabannya!” seru Shinta bersemangat.

            “Jawaban apa?” tanya Rosa.

            “Jawaban ulangan, ya? Kan, sebentar lagi ulangan. Kamu menguntit, ya?” Lea terlihat menyelidik.

            “Jawaban tebak-tebakanku?” tanya Danea penasaran.

            “Tentu saja bukan! Aku telah menemukan jawaban dari misteri itu! Dan aku harus membuktikan teoriku,” ucap Shinta memberitahu.

            “Jawaban misteri Boardgame Café itu?!” sahut Rosa dan Danea. “Lanjutkan!”

            “Huh, jawaban misteri!” Lea memutar bola matanya, tidak tertarik sama sekali.

            “Jadi, kita dapat membuka pintu misterius itu dengan memasukkan password yang berada di lukisan pintu itu! Yaitu, B5R1D4G2M3! Kemungkinan, lantai atas adalah kafenya dan Kak Nancy mungkin disekap di sana!” seru Shinta menjelaskan.

            “Oh… Kalau begitu, kita ke sana sekarang!” Rosa melonjak.

            “Aku akan mengeluarkan sepeda!” Danea berlari menuju garasi.

            Lima menit kemudian, mereka sudah berada di depan kafe itu. Tetapi, Lea tidak ikut.

            “Bahkan tidak ada siapapun yang menyambut kita! Tidak ada Kak Nancy atau orang lain sama sekali!” seru Rosa.

            “Tapi, tulisan di papannya ‘OPEN’,” ucap Danea.

            “Ya, sudah, kita masuk saja!” Shinta memutuskan.

            Di dalam, mereka segera meneliti lukisan dan menuju kamar istirahat.

            “Ketikkan ‘B5R1D4G2M3’!” perintah Shinta pada Rosa.

            “Siap!” jawab Rosa sambil mengetiknya.

            “Duh.., aku tegang, nih!” bulu kuduk Danea berdiri.

            TIT! “Password terbuka! Silahkan masuk!” terdengar suara seperti robot. Dengan sendirinya, pintu itu terbuka. Terdapat tangga dengan dinding berlampu biru.

            “Welcome to the café. Here you can have fun with us, eat, playing boardgame, and reading books,” Rosa membaca hand lettering yang diukir di dinding.

            “Pintu berikutnya dengan password lock juga,” ucap Rosa.

            “Asal ketik saja! Coba kau tuliskan ‘BOARDGAME CAFÉ’!” perintah Shinta.

            “Baiklah,” Rosa segera mengetik.

            Ternyata benar, pintu itu segera terbuka. Di dalamnya terdapat ruangan yang sangat nyaman, dengan sofa-sofa yang empuk. Interiornya menyesuaikan dengan kenyamanan rumah. Ada meja-meja kecil, poster daftar menu, rak berisi ratusan boardgame, dan rak berisi ratusan buku.

            “Wah…., nyaman sekali..,” ujar Danea.

            “Lho, itu, kan..,” Rosa menunjuk seorang gadis remaja yang duduk di sebuah kursi bersama seorang perempuan lain yang sedang mengetik.

            “Penculik! Kau pasti yang menculik Kak Nancy, kan?!” teriak Shinta.

            Kak Nancy dan perempuan yang satunya lagi saling pandang, lalu tertawa bersama. “Kamu aneh-aneh saja! Ini temanku, Kak Zahira.”

            “Hah..?” Danea, Rosa, dan Shinta menganga.

            “Kami yang menjalankan usaha kafe kecil ini. Dan aku bukan penculik. Kami teman baik,” Kak Zahira tertawa kecil.

            “Lalu, kenapa Kak Nancy menghilang?” tanya Shinta.

            “Aku tidak menghilang. Aku ke sini saat kalian sedang asyik melihat lukisan. Kami ingin kafe ini misterius dan penuh petualangan, sehingga seperti ala-ala detektif. Kami, kan, penggemar Detektif Conan dan Detektif Sherlock Holmes,” jawab Kak Nancy panjang lebar.

            “Oh.., begitu, ya..,” pipi Shinta merona malu.

            “Tapi, jadi ala detektif beneran, deh, Kak! Soalnya, kami jadi seperti menyelidiki penculikan palsu kakak,” Danea meringis.

            “Hahaha! Nah, kalian ingin main apa? Baca buku apa? Mau makan apa? Pokoknya kalian boleh sepuasnya, deh! Jangan lupa, bayar Rp.30.000,- dulu, ya!” ucap Kak Zahira.

            “Yeay!!!” ketiga anak itu bersorak riang.

            Andai Lea juga ikut. Pasti ia takkan menyangka semua ini…

TAMAT


Baba’s Burger

            “Ukh, Melisa kesal!” Melisa, anak perempuan keturunan China itu, menghentakkan kakinya.

            “Lho, ada apa, Melisa?” tanya Merida, kakak perempuan Melisa, kebingungan.

            “What’s wrong, Melisa?” tanya mama yang sedang menggendong Nelisa, adik Melisa.

            “Itu, Melisa kesal sama baba (ayah)! Surat Melisa tidak dijawab sama sekali!” Melisa cemberut. Tampangnya lucu sekali. Baba memang sedang bekerja di luar kota.

            “Hihihi.., kamu belum tahu, ya?” mama terkikik.

            “Belum tahu apa, ma?” tanya Melisa dan Merida.

            “Ada, deh! Kalian tunggu saja nanti siang!” mama meneruskan menyuapi Nelisa.

            “Tuh, sekarang, mama yang bikin Melisa kesal! Mama nggak mau kasih tahu yang Melisa ingin tahu!” bibir Melisa maju 1 cm.

            “Sudah, yuk, kita ke taman saja!” Merida mengajak Melisa ke taman, menghindari kemarahan Melisa.

            “Kak.., Melisa mau balon itu…,” Melisa menunjuk penjual balon yang berjualan di pinggir taman.

            “Hayyah.., kamu, kan, sudah kelas satu, Mel! Masa’ masih mainan balon? Ckckck…,” Merida geleng-geleng kepala.

            “Hiih.., kakak jahat! Melisa mau balon! Huaaaaaaaaaa!!!” Melisa mulai menangis.

            “Aduh.., kamu jangan malu-maluin, deh! Anak kelas satu, kok, nangis di taman?” sindir Merida.

            “Kakak!!!” jerit Melisa, mengejar kakak yang asyik melarikan diri.

            “Ampun, Mel! Ini masalahnya kakak lagi nggak bawa uang!!” Merida berseru sambil menahan malu. Oh.., ternyata, itu, toh, masalahnya..

            “Ya, sudah, Melisa mau kembang gula saja!!” tangis Melisa.

            “Melisa, kakak, kan, sudah bilang, kakak nggak bawa uang…,” Merida berusaha menjelaskan dengan pelan-pelan.

            “Pokoknya, Melisa ingin kembang gula! Titik!” seru Melisa galak.

            “Adik mau kembang gula?” tanya seorang gadis remaja yang umurnya kira-kira tiga tahun di atas Merida.

            “Ma.. mau..,” Melisa mengangguk-angguk.

            “Tunggu! Aku tidak mengenalmu! Jangan-jangan, kamu mau nyebarin narkoba, ya?!” Merida menyelidik.

            “Aduh.., aku bahkan mengenalmu, Mer! Kamu, kan, adik kelasku! Temannya Riri, kan? Riri itu adikku,” gadis itu tertawa. “Aku Cherry.”

            “Oh.., Kak Cherry..,” pipi Merida merona malu.

            “Ini kembang gula untuk Melisa..,” Kak Cherry tersenyum, memberikan kembang gula merah muda untuk Melisa.

            “Terima kasih, Kak..,” Melisa tampak senang sekali.

            “Eng, sudah siang, Mel. Kita pulang dulu, yuk!” ucap Merida.

            Di rumah..

            “Surprise!” seru seseorang.

            “Lho, baba sudah pulang?” tanya Merida terkejut.

            “Iya, baba dapat izin cuti selama seminggu,” baba tersenyum.

            “Yeay.., baba!” Melisa memeluk baba.

            “Bagaimana pekerjaan baba di Perfect Resto?” tanya mama.

            “Baik-baik saja. Baba juga ingin membagi kebiasaan baba di sana ke sini,” baba tersenyum.

            “Kebiasaan apa, baba?” tanya Merida.

            “Nah, ayo, ikut baba ke dapur!” baba pergi ke dapur.

            “Hmm.., mau ngapain, sih?” tanya Melisa sambil mengikuti baba ke dapur.

            “Tidak tahu. Kita lihat saja,” Merida mengangkat kedua bahunya.

            “Apa itu, baba?” tanya Melisa menunjuk roti bulat-bulat yang berada di dalam plastik yang baba bawa.

            “Ini adalah roti burger atau burger bun,” jawab baba.

            “Oh.. Jadi, apa yang akan kita lakukan?” tanya Merida.

            “Kita akan membuat burger!” jawab baba riang.

            “Hah.., burger?” Merida dan Melisa menganga.

            “Yup, betul sekali! Nah, bahan-bahannya adalah: roti burger ini, dua selada, satu daging asap, dua keju lembar, dan dua tomat!” baba memberitahu bahan-bahan pembuatannya. Merida pun sigap mengambil bahan-bahannya.

            “Lalu, bagaimana cara membuatnya?” tanya Melisa.

            “Sangat mudah! Lapisan pertama, roti burger bagian bawah. Lapisan kedua, selada. Lapisan ketiga, keju lembar. Lapisan keempat, tomat. Lapisan kelima, daging asap. Lapisan keenam, tomat. Lapisan ketujuh, keju lembar. Lapisan kedelapan, selada. Dan lapisan terakhir, roti burger bagian atas. Setelah itu, dihangatkan di penanak nasi atau di oven,” jelas baba.

            “Wah, mudah sekali, ya, baba!” Melisa tertawa. “Melisa pasti bisa membuatnya!”

            “Kalau begitu, baba akan mencontohkannya. Lalu kalian buat juga, ya!” perintah baba.

            “Tentu saja!” seru Melisa dan Merida.

            Beberapa menit kemudian, setelah menumpuk dan menghangatkannya, burger telah selesai dibuat.

            “Hmm.., enak, baba!” Merida berdecak. “Yummy!”

            “Melisa nggak suka, baba..,” Melisa mengeluh.

            “Memangnya, Melisa sukanya yang seperti apa?” tanya baba.

            “Melisa sukanya makanan yang manis-manis, baba,” jawab Melisa.

            “Oh, begitu.. Begini saja, Melisa coba cari-cari inspirasi dari buku resep! Nanti, Melisa coba buat sendiri burger-nya. Caranya sama saja, Cuma isinya saja yang berbeda,” baba memberikan solusi pada Melisa.

            “Oh…, begitu, ya, ba? Melisa coba, deh, membuat burger isi es krim tiga rasa dan burger isi marshmallow dan cokelat,” Melisa berpikir-pikir.

            Melisa pun berlari ke dapur. Ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat burger isi es krim.

            “Hmm.., bahan-bahannya roti burger bagian atas dan bawah, es krim cokelat, es krim stroberi, dan es krim vanila,” Melisa mengambil satu cup es krim campuran tiga rasa.

            “Langkah pertama, oleskan es krim di atas roti burger bagian bawah. Langkah kedua, tutup dengan roti burger bagian atas,” Melisa menyelesaikan kedua langkah tersebut dengan baik. “Eng, tapi, kayaknya nggak usah dihangatkan, deh! Nanti es krimnya malah meleleh!”

            Melisa pun membawa empat burger isi es krim itu ke ruang makan dan menyantapnya bersama.

            “Wah, enak, Mel!” komentar Merida.

            “Iya, baba suka banget!” puji baba.

            “Anak mama yang satu ini memang kreatif,” ujar mama.

            “Hehehe.. Aku jadi malu..,” Melisa tampak tersipu. “Oh, ya, aku juga mau bikin burger isi marshmallow dan cokelat dulu!”

            “Kakak juga, ah! Mau belajar sama Chef Melisa!” canda Merida.

            “Kakak tolong ambilkan marshmallow dan cokelat batang secukupnya, ya!” perintah Melisa.

            “Siap, Chef!” Merida bergegas mengambil. “Setelah itu?”

            “Pertama-tama, letakkan marshmallow dan cokelat batang di atas roti burger bagian satu,” ucap Melisa sambil mencontohkan.

            “Sudah selesai! Lalu…?” tanya Merida tidak sabar.

            “Panggang di oven!” ucap Melisa.

            “Baiklah!” Merida pun menurut.

            Beberapa menit kemudian….

            “Wah, enak!” ucap Melisa. Ia segera menghabiskan dua burger sekaligus.

            “Sama enaknya kayak yang tadi!” kata Merida.

            “Mama punya ide! Bagaimana kalau kalian berjualan burger di sekolah?” usul mama.

            “Wah, ide bagus, ma! Nanti bisa menambah uang tabunganku!” Merida mengangguk setuju.

            “Jadi, kalian tidak perlu minta uang jajan lagi pada mama,” ujar baba.

            “Yup, semua berawal dari baba yang mengajarkan kami! Terima kasih, baba!” Melisa dan Merida memeluk baba.

            “Hahaha, sama-sama!”

TAMAT

Bunny Hat Wishlist

            Pagi itu, Milea berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Biasanya, Chimmy, temannya yang campuran Amerika Serikat-Indonesia, akan memamerkan barang-barang imut dan sedang brand yang ia miliki. Milea seringkali tertarik dengan barang-barang yang Chimmy bawa.

            “Hai, teman-teman!” tapi begitu Milea menyapa, bel masuk berdering. Ia tidak sempat melihat barang yang dibawa Chimmy. Ia segera duduk di sebelah sahabatnya, Evelyn.

            “Evelyn, barang apa yang dibawa Chimmy?” tanya Milea penasaran.                            

            “Hmm…, mau tahu saja atau mau tahu banget?” Evelyn menggoda Milea.

            “Sudah, jangan menggoda, dong!” Milea merengut, memalingkan muka.

            “Iya, deh, tapi jangan cemberut!” Evelyn menenangkan, takut sahabatnya marah. Kalau Milea marah pasti seram.

            Milea pun menoleh, tertarik.

            “Jadi, yang tadi Chimmy bawa… adalah… bunny hat. Titik!” Evelyn berlagak seperti profesor, tapi nggak basa-basi sama sekali.

            “Haa…? Bunny hat itu apa?” Milea melongo.

            “Sudahlah, Milea. Pelajaran akan dimulai, kau punya HP, kan? Kau bisa mencari tahu,” Evelyn malas melanjutkan pembicaraan.

            “Huh, Evelyn jahat!” Milea cemberut.

            “Aku tidak peduli!” Evelyn menjulurkan lidahnya.

            Pulang sekolah…

            “Aku pulang!” Milea turun dari mobil dengan supir pribadi keluarganya. Karena, keluarga Milea memang termasuk orang kaya…

            Sally, salah satu pelayan di rumahnya, membukakan pintu. “Hari yang baik, Nona?”

            “Sangat baik!” Milea meletakkan ranselnya dengan mandiri di kamarnya. Apapun yang bisa ia lakukan akan ia lakukan sendiri tanpa pelayannya.

            “Siang, Mil!” Marie, kakak perempuannya, menyapa setelah menyedot es milonya.

            “Hwaaaaaaaaaa!!! Aku mau es milo!” Milea beranjak duduk di sebelah kakaknya.

            “Baik, Nona,” Sally berjalan menuju dapur.

            “Kak, tahu, nggak, bunny hat itu apa?” tanya Milea manja.

            “Tahu, dong! Bunny hat itu topi kelinci imut yang sedang terkenal. Bunny hat seringkali dipakai oleh artis-artis Korea, seperti para k-pop. Temanku ada yang menjualnya, akun Instagram-nya…,” perkataan Kak Marie terputus.

            “Wah.., pasti bagus! Teman kakak yang menjualnya namanya siapa? Akunnya apa? Cepat kasih tahu, kak!” Milea tampak menggebu-gebu.

            “Ih…, tadi, kan, kakak mau memberitahu, tapi adik putus! Jadi.., namanya Tisha, lalu akun Instagram-nya… @tishania_bunnyhat. Mengerti..?” lagi-lagi, Milea mengabaikannya. Anak itu berlari menuju kamarnya.

            “Milea!!!!!!!!” Kak Marie berseru geram.

            Di kamar Milea…

            “Wah, ternyata, bunny hat itu lucu plus bagus plus imuuuuuuut banget!” Milea menganga memandangi HP-nya.

            “Oh.., Milea sedang melihat-lihat bunny hat, ya?” Kak Marie tiba-tiba muncul.

            “Aaaaaaaaa.., kaget, kak! Iya, nih, aku lagi lihat-lihat bunny hat. Kak, pilihin, dong, mana yang bagus,” pinta Milea.

            “Hmm.., menurut kakak yang sleeping unicorn bunny hat saja,” pilih Kak Marie. “Tunggu! Memangnya kamu punya uang? Ini harganya Rp.150.000,- lho!”

            “Eihhh.., sebentar! Aku lihat tabunganku dulu!” Milea mengambil celengan kotak musik yang ia simpan di lemari buku. “Se..seratus ribu..”

            “Setiap hari sekolah ibu memberikan Rp.10.000,- berarti lima hari lagi kau bisa membeli bunny hat itu,” jelas Kak Marie.

            “Tidaaaaak!!! Lima hari tanpa jajan!!!”

            Keesokan harinya di sekolah, godaan datang berturut-turut.

            “Milea bawa bekal? Biasanya, kamu jajan,” Evelyn bertanya-tanya bingung.

            “Akh.., jangan mengingatkanku pada kata ‘jajan’!!!!!!!!!!” jerit Milea putus asa.

            “Hehehehe! Jajan-jajan! Jajan-jajan!” Lionel, teman Milea yang jahil, menggoda Milea.

            “Lionel!! Jangan menggodaku!”

            “Hih! Masa’ anak orang kaya nggak jajan?” Rayna mengejek.

            “Berhentilah!!!!!!” jerit Milea. Rupanya, ia sudah tidak tahan lagi. Ia selalu bersembunyi setiap jam istirahat.

            Pada hari Minggu…

            “Milea, apakah uang yang kau kumpulkan sudah cukup?” tanya Kak Marie.

            “Hmm.., coba kuhitung.. Ya! Rp.150.000,- sudah cukup!” seru Milea girang. Di kemudian hari, ia tak perlu bersembunyi lagi dari teman-temannya.

            “Nah, sekarang, coba kau lihat @tishania_bunnyhat!” perintah Kak Marie.

            “Baiklah, kak,” Milea mengambil HP-nya dan membuka Instagram.

            “Eh..? Apa ini?” Milea kebingungan. Ternyata stock bunny hat yang ia inginkan tersisa satu. Dan.., sudah ada dua orang yang wishlist.

            “Buruan comment atau kirim message untuk wishlist!!!!!!” seru Kak Marie mengguncang-guncang bahu Milea. Sebenarnya, Kak Marie juga ingin menggunakan bunny hat tersebut.

            “Iya.., kak! Aku tahu! Jangan guncang-guncang, dong!” Milea merengut.

            Milea pun mengirim message pada Kak Tisha. Setelah itu..

            “Kak..,” panggil Milea dengan suara kecil.

            “Ada apa?” tanya Kak Marie terkejut dari lamunannya.

            “Do’akan aku, ya.. Supaya aku bisa membeli bunny hat itu..,” pinta Milea memohon.

            “Tentu saja!” jawab Kak Marie. “Biar aku juga bisa pakai!”

            “Huh! Jangan bercanda, dong, Kak Marie!” Milea merasa marah.

            “Kakak nggak bercanda!” kedua kakak-beradik itu meledak alias bertengkar.

            Beberapa hari kemudian…

            “Yap! Sedikit lagi.. Akh, aku mati!” rupanya Milea sedang asyik bermain games. Tiba-tiba, tring-tring! Tanda bahwa ada pesan masuk.

            “Hah? Pesan dari @tishania_bunnyhat alias Kak Tisha?” Milea terkejut. “Ada apa, ya? Jangan-jangan..”

            Dengan penasaran, Milea membuka pesan tersebut. Isinya seperti ini:

            Milea, kedua orang pertama yang mendaftarkan dalam wishlist bunny hat yang kau inginkan mengundurkan diri. Apakah kau ingin mengambilnya sebagai pendaftar wishlist ketiga?

            “Oh my god.. oh my god..!” Milea gemetar mengetik balasan. Tapi sebelum mengetik, ia memikirkannya terlebih dahulu.

            Aku memang sudah wishlist ketiga dan merelakan diri untuk tidak jajan selama lima hari, tapi tidakkah orang lain juga menginginkannya? Biarlah uang seratus lima puluh ribu itu digunakan untuk membeli yang lain. Semua orang pasti mendambakan memiliki bunny hat yang telah ia wishlist…, pikir Milea. Akhirnya, Milea pun mengetik balasan seperti ini:

            Kak Tisha, aku mengundurkan diri.

            “Aku tahu ini tindakan yang benar, aku siap merelakannya,” Milea menghela napas, menekan tombol “Kirim”. Klik!

             Milea pun menjadi tenang, meskipun ia masih berat hati. Ia turun ke bawah memberitahu kakaknya.

            “Apa?! Kau.. kau membatalkannya?” reaksi Kak Marie terkejut sekaligus kecewa. “Setelah kau merelakan diri tidak jajan selama lima hari?! Yang benar saja, kau telah melewatkan kesempatan emas..,” ucapan Kak Marie terhenti.

            Pasti Milea punya maksud positif, batinnya. “Baiklah, tidak apa-apa. Tak masalah. Lupakan saja.”

            Keesokan harinya, Milea menjalani kegiatan di sekolah dengan malas. Evelyn pun bertanya padanya.

            “Ada apa, Milea? Ada masalah?” tanya Evelyn khawatir.

            “Tidak.., hanya saja..,” dengan sedih, Milea menceritakan tentang wishlist yang ia batalkan.

            “Oh.., begitu.. Sabar, ya, Milea. Suatu saat kesempatan itu pasti datang lagi,” Evelyn tersenyum menyemangati Milea.

            Beberapa bulan kemudian, Milea sudah melupakan soal bunny hat-nya itu. Pada hari itu, Milea berulang tahun yang kesepuluh.

            “Happy birthday to you! Happy birthday to you! Happy birthday… happy birthday… Happy birthday.. to you!” semua orang yang diundang ke pesta ulang tahun Milea menyanyikan lagu itu.

            Sekarang, saatnya membuka hadiah. Pertama, Milea membuka hadiah dari Evelyn.

            “Hmm.., Evelyn menghadiahkan apa, ya?” Milea meraba-raba lalu membuka kadonya. Ternyata…

            “Ah.., a..aku.., tidak percaya!” Milea menangis terharu melihat kado yang diberikan Evelyn untuknya. Sebuah bunny hat!

            “Your wishlist is become true!” Kak Marie spontan memeluk Milea.

            “Te.. terima kasih, Eve! Kau sahabat terbaikku! Bagaimana kau bisa tahu kado yang kuinginkan?” Milea merangkul Evelyn.

            “Kau sudah pernah memberitahuku! Dan.., sebenarnya, Kak Tisha adalah kakakku. Aku membelinya dengan harga yang sama,” Evelyn tersenyum menjelaskan.

            “Sekali lagi, terima kasih, Evelyn! Terima kasih banyak!”

TAMAT


0 komentar:

 

Velvetluna NMR Blog Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang